Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah baru-baru ini menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat. Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai pengakuan atas kontribusi Soeharto dalam pembangunan bangsa. Namun, di sisi lain, banyak yang memandang langkah ini sebagai pelupaan terhadap kelamnya sejarah Orde Baru yang sarat dengan kekerasan dan penindasan. Keputusan ini tidak sekadar soal politik administratif, tetapi juga menantang ingatan kolektif bangsa atas masa lalu yang kontroversial.
Sejarah Kelam di Balik Orde Baru
Periode Orde Baru tidak dapat dipisahkan dari praktik-praktik represi politik yang dilakukan oleh rezim Soeharto. Laporan pelanggaran HAM termasuk penculikan, penyiksaan, dan pembatasan kebebasan berekspresi menjadi bagian dari strategi untuk mempertahankan kekuasaan. Selama lebih dari tiga dekade, control ketat terhadap masyarakat dilakukan di hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari. Pemusatan kekuasaan di tangan militer juga mengakibatkan praktik korupsi yang meluas dan institusional.
Gelar Pahlawan: Legitimasi atau Distorsi Sejarah?
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menimbulkan pertanyaan mengenai apa kriteria sebenarnya untuk mendapatkan predikat tersebut. Apakah keberhasilan dalam pembangunan ekonomi dan infrastruktur dapat menghapus noda pelanggaran HAM yang terjadi di masa jabatannya? Bagi sebagian pihak, gelar tersebut merupakan penghargaan atas jasanya dalam membangun fondasi ekonomi negeri yang sempat disebut sebagai “Macan Asia”. Namun, bagi lainnya, ini seperti mengabaikan penderitaan para korban yang merasakan langsung dampak dari kebijakan represifnya.
Pandangan Masyarakat Terbelah
Masyarakat Indonesia sendiri terbelah antara mereka yang menyetujui dan mereka yang menolak pemberian gelar ini. Generasi lama yang sempat merasakan stabilitas ekonomi di bawah Orde Baru cenderung melihat Soeharto sebagai figur penyelamat. Sementara generasi muda, yang tumbuh di era reformasi, lebih kritis terhadap catatan kelam pemerintahannya. Mereka melihat pentingnya pelajaran dari sejarah untuk mencegah hal serupa berulang di masa depan. Diskursus publik tentang ini menunjukkan masih adanya luka yang belum sembuh betul sejak reformasi 1998.
Kerinduan Akan Stabilitas Ekonomi
Di balik kontroversi ini, terselip nostalgia bagi sebagian orang yang mengingat masa itu sebagai periode ekonomi yang relatif lebih stabil meski ditebus dengan kebebasan yang terenggut. Ancaman inflasi yang terkendali dan lonjakan pembangunan infrastruktur kerap dijadikan alasan oleh para pendukungnya bahwa manajemen Soeharto layak diresapi kembali. Namun, stabilitas semu ini justru menutupi akar-akar kesenjangan ekonomi dan sosial yang hingga kini masih menjadi tantangan besar bagi bangsa ini.
Pembelajaran dari Sejarah
Penting bagi bangsa ini untuk melihat peristiwa masa lalu sebagai pembelajaran yang bermakna, bukan sekadar perhitungan salam politik. Pembelajaran dari sejarah kelam Orde Baru bukan hanya soal menghindari rezim otoriter, tetapi juga memastikan pemerintah yang bertanggung jawab dan berpihak pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Peringatan ini menjadi krusial dalam lanskap politik Indonesia yang terus berkembang dan berubah.
Memori, Rekonsiliasi, dan Masa Depan
Pemerintah harus menyadari bahwa keputusan yang berkaitan dengan masa lalu sensitif ini memerlukan pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada rekonsiliasi. Selain itu, perlu ada upaya lebih untuk mendengarkan dan mengakui penderitaan para korban serta keluarganya di masa Orde Baru. Kesimpulannya, penghargaan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan hanya soal mengabadikan sejarah, tetapi juga mempertanyakan apa yang bangsa ini hargai dan bagaimana sejarah diinterpretasikan untuk masa depan yang lebih baik.
